Pengertian Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Pada beberapa tahun terakhir ini pembelajaran kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang banyak dibicarakan orang. Berbeda dengan strategi pembelajaran lainnya Contextual Teaching and Learning disingkat CTL merupakan strategi yang melibatkan peserta didik secara penuh dalam proses pembelajaran. Peserta didik didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pembelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya.
Menurut Elaine B Johnson (2006) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah :
An educational process that aims to help students see meaning in academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achieve this aims, the system encompasses the following eight component: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assesment.
An educational process that aims to help students see meaning in academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achieve this aims, the system encompasses the following eight component: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assesment.
Kutipan pengertian di atas menegaskan hakikat CTL yang dapat diringkas dalam 3 (tiga) kata yaitu makna, bermakna, dan dibermaknakan. Dengan merujuk pada 4 (empat) konsep kunci yang saling terkait, yaitu teaching (refleksi sistem kepribadian sang guru yang bertindak secara profesional), learning (refleksi sistem kepribadian peserta didik yang menunjukkan perilaku yang terkait dengan tugas yang diberikan, instruction (sistem sosial tempat berlangsungnya mengajar dan belajar ), dan curriculum (sistem sosial yang berujung pada rencana untuk pengajaran) maka dalam CTL guru berperan sebagai fasilitator tanpa henti (reinforcing), yakni membantu peserta didik menemukan makna (pengetahuan) (Dunkin, 1974).
Dalam penerapan CTL ada sejumlah strategi yang mesti ditempuh yaitu:
Pertama, pengajaran berbasis problem. Dengan memuculkan problem yang dihadapi bersama, peserta didik ditantang untuk berfikir kritis untuk memecahkannya. Problem seperti ini membawa makna personal dan sosial bagi peserta didik.
Kedua, menggunakan konteks yang beragam. Makna itu ada di mana-mana dalam konteks fisikal dan sosial. Guru membermaknakan pusparagam konteks (sekolah, masyarakat, tempat kerja, dan sebagainya), sehingga makna (pengetahuan) yang diperoleh peserta didik menjadi semakin berkualitas.
Ketiga, mempertimbangkan keberagaman peserta didik baik perbedaan individual dan sosial. Guru mengayomi peserta didik dan meyakini bahwa keberagaman dibermaknakan sebagai mesin penggerak untuk belajar saling menghormati dan membangun toleransi.
Keempat, memberdayakan peserta didik untuk belajar sendiri. Peserta didik dilatih untuk kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis informasi dengan sedikit bantuan atau malah secara mandiri.
Kelima, belajar melalui kolaborasi, Peserta didik dibiasakan saling belajar dari dan dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan dan menentukan fokus belajar.
Keenam, menggunakan penilaian autentik. Hal ini menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung secara terpadu dan kontekstual, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Ketujuh, mengejar standar tinggi. Standar unggul sering dipersepsikan sebagai jaminan, baik jaminan lulus, jaminan kerja, jaminan kepercayaan diri, jaminan menentukan masa depan. Hal ini perlu didengungkan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang kompetitif pada abad persaingan dewasa ini (Johnson : 2006).
Dalam penerapan CTL ada sejumlah strategi yang mesti ditempuh yaitu:
Pertama, pengajaran berbasis problem. Dengan memuculkan problem yang dihadapi bersama, peserta didik ditantang untuk berfikir kritis untuk memecahkannya. Problem seperti ini membawa makna personal dan sosial bagi peserta didik.
Kedua, menggunakan konteks yang beragam. Makna itu ada di mana-mana dalam konteks fisikal dan sosial. Guru membermaknakan pusparagam konteks (sekolah, masyarakat, tempat kerja, dan sebagainya), sehingga makna (pengetahuan) yang diperoleh peserta didik menjadi semakin berkualitas.
Ketiga, mempertimbangkan keberagaman peserta didik baik perbedaan individual dan sosial. Guru mengayomi peserta didik dan meyakini bahwa keberagaman dibermaknakan sebagai mesin penggerak untuk belajar saling menghormati dan membangun toleransi.
Keempat, memberdayakan peserta didik untuk belajar sendiri. Peserta didik dilatih untuk kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis informasi dengan sedikit bantuan atau malah secara mandiri.
Kelima, belajar melalui kolaborasi, Peserta didik dibiasakan saling belajar dari dan dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan dan menentukan fokus belajar.
Keenam, menggunakan penilaian autentik. Hal ini menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung secara terpadu dan kontekstual, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Ketujuh, mengejar standar tinggi. Standar unggul sering dipersepsikan sebagai jaminan, baik jaminan lulus, jaminan kerja, jaminan kepercayaan diri, jaminan menentukan masa depan. Hal ini perlu didengungkan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang kompetitif pada abad persaingan dewasa ini (Johnson : 2006).
Contextual Teaching and Learning adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2005).
Dari konsep tersebut ada 3 (tiga) hal yang harus dipahami. Pertama, CTL akan menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar peserta didik hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting agar materi yang dipelajari peserta didik tertanam erat dalam memori peserta didik, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan peserta didik memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari konsep tersebut ada 3 (tiga) hal yang harus dipahami. Pertama, CTL akan menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar peserta didik hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting agar materi yang dipelajari peserta didik tertanam erat dalam memori peserta didik, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan peserta didik memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Adapun 7 (tujuh) asas tersebut adalah :
- Konstruktivisme, adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.
- Inkuiri, adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis.
- Bertanya (Questioning), adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dipandang sebagai refleksi keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir.
- Masyarakat Belajar (Learning Community) adalah proses kerjasama saling memberi dan menerima. Penerapannya dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Dalam hal tertentu guru bisa mendatangkan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian khusus untuk memberikan atau membahas masalah tertentu sesuai dengan materi pembelajaran.
- Permodelan (Modelling), adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh kepada siswa, atau siswa yang telah menguasai kemampuan tertentu memberikan contoh kepada temannya di depan kelas.
- Refleksi (reflection), adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.
- Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan dengan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian diperlukan untuk mengetahui apakah peserta didik benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar peserta didik memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa (Jonson, 2006)