wibiya widget

rss

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Literasi Sains dan Pengukurannya


Kompetensi literasi sains menurut PISA terdiri dari tiga hal yaitu: 1) Kompetensi mengidentifikasi isu-isu ilmiah. Kemampuan ini meliputi bebrapa keterampilan yaitu mengidentifikasi masalah yang dapat diselidiki secara ilmiah, mengidentifikasi kata kunci untuk mencari informasi ilmiah, mengidentifikasi kata kunci dari penyelidikan ilmiah. 2) kompetensi menjelaskan fenomena ilmiah.  Beberapa keterampilan dalam kompetensi ini mencakup menerapkan pengetahuan ilmu pada situasi tertentu, menggambarkan atau menafsirkan fenomena ilmiah dan memprediksi perubahan, mengidentifikasi deskripsi yang tepat, menjelaskan, dan melakukan prediksi. 3) Kompetensi menggunakan bukti-bukti ilmiah. Komptensi ini meliputi beberapa keterampilan yaitu mengintepretasikan bukti ilmiah dan membuat dan memberikan kesimpulan, mengidentifikasi asumsi-asumsi, bukti dan memberikan alasan untuk menarik kesimpulan, merefleksikan implikasi sosial dari sains dan perkembangan teknologi. (OECD, 2006; 2012; Toharudin., et al, 2011).
Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar  PISA yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk  juga mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas manusia. Situasi atau konteks adalah area aplikasi konsep-konsep sains yang dikelompokkan menjadi tiga area sains yaitu kehidupan dan kesehatan, bumi dan lingkungan dan teknologi (Toharudin., et al, 2011: 9)
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi sains seseorang. Menurut Hariadi (2009) beberapa faktor yang mempengaruhi literasi sains pada seseorang yaitu: 1) sikap mahasiswa terhadap sains, 2) latar belakang pendidikan orang tua, 3) kepercayaan diri dan motivasi belajar sains, 4) waktu untuk belajar sains, 5) strategi belajar mengajar sains. Sejalan dengan pendapat tersebut Sujana, (2004) dan  Özdem., et al (2010) menyebutkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kemampuan literasi sains yaitu dengan meningkatkan kualitas pembelajaran.


Inkuiri Terbimbing dan Literasi Sains


Pada abad 21, seseorang dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan sains dan teknologi (Ozdem et al, 2010). Sains memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan pribadi pada masyarakat dan ekonomi global. Maka agar bisa berhasil pada abad 21 ini, siswa seharusnya memiliki kemampuan literasi sains yang baik dan memiliki prinsip belajar sepanjang hayat (Glynn & Muth, 1994). Kemampuan literasi yang baik akan membiasakan siswa untuk tidak hanya belajar membaca, tetapi membaca untuk belajar, serta memiliki kemampuan untuk memahami bacaan (Kuhlthau, 2010). Literasi sains menjadi suatu keharusan bagi setiap individu untuk memiliki peluang yang lebih besar agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan dan meningkatkan pembangunan suatu bangsa (Genc, 2015; Jurecki, 2012; Turgut, 2007).
Konsep literasi sains mulanya diperkenalkan oleh Hurd (1958) dan McCurdy (1958) pada dunia pendidikan (Bacanak dan Gokdere, 2009). Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami dan menggunakan pengetahuan dalam bidang sains (Dani, 2009; Cansiz, 2011; Cavas et al, 2013). Pengertian lain menyebutkan bahwa literasi sains merupakan suatu sikap pemahaman seseorang terhadap sains dan kemampuan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Eisenhart, 1996; Hurd, 1998; De Boer, 2000). Komponen literasi sains meliputi kemampuan mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta, mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan serta membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia sehingga memiliki sikap dan kepekaan tinggi terhadap diri dan lingkungan (Toharudin et al, 2011).
Pada proses pembelajaran sains seharusnya siswa dibekali kemampuan literasi sains yang baik (Hoolbroke, 2008), termasuk mahasiswa yang mengambil program keguruan. Sebagai calon guru yang berperan sebagai agen perubahan mempunyai peran penting dalam membelajarkan sains kepada siswa untuk mencapai tujuan belajar sains (Ozdem et al, 2010). Maka diharapkan guru juga memiliki kemampuan literasi sains yang baik (Cavas et al, 2013). Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains masih belum seperti yang diharapkan. Dantaranya, penguasaan guru terhadap kemampuan sains  dan aplikasinya dalam pembelajaran masih sangat rendah (Budiastra, 2011). Pada proses pembelajaran, guru belum mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari (Ayas et al, 2001), disisi lain guru SD dan mahasiswa PGSD belum memiliki kemampuan literasi sains yang baik (Çepni, 1997; Çepni & Bacanak, 2002; Sujana, 2014). Kemampuan literasi sains siswa di Indonesia berada pada kategori rendah dan proses pembelajaran masih belum optimal dalam upaya meningkatkan kemampuan literasi sains (Dahtiar, 2015). Kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada aspek konten, proses dan konteks dalam kategori rendah (Odja & Payu, 2014; Suciati, et al, 2013).
Upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kemampuan literasi sains yaitu dengan meningkatkan kualitas pembelajaran (Sujana, 2014). Diperlukan model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk kreatif dalam menggunakan pengetahuan dengan tepat berdasarkan bukti ilmiah, terutama dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan diri dalam memecahkan masalah serta dapat membuat keputusan ilmiah bersama dan dapat dipertanggungjawabkan (Holbrook et al, 2009). Melalui proses inkuiri maka kemampuan literasi sains dapat ditingkatkan (Carlson, 2008; Gormally et al, 2009, Adolphus; et al, 2012). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa (El Islami, 2013; Ngertini, et al, 2013).
Pembelajaran inkuiri terbimbing merupakan suatu model pembelajaran yang potensial untuk diterapkan pada pembelajaran biologi (Bialangi et al, 2016). Pembelajaran inkuiri terbimbing menekankan mahasiswa untuk belajar melalui tahapan untuk mendapatkan pengetahuan melalui proses metode ilmiah yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, memverifikasi hasil, dan menggeneralisasikan dengan menarik kesimpulan. Pada proses inkuiri terbimbing peran guru adalah sebagai pembimbing dalam proses pengambilan keputusan (Matthew, 2013; Obomanu et al, 2014). Pada proses pembelajaran inkuiri terbimbing siswa bekerjasama dengan guru untuk merumuskan masalah dan mengembangkan jawaban. Kegiatan tersebut dapat melatih siswa untuk mengembangkan sikap tanggungjawab dan kemampuan kognitif (Bilgin, 2009). Selain itu kegiatan inkuiri juga melatih siswa untuk terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dan prinsip materi yang sedang dipelajari (Kubicek, 2005). Pemanfaatan artikel pada proses pembelajaran inkuiri dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan dalam memahami bacaan, selain itu melalui kajian membaca juga dapat membangun pengetahuan mereka sendiri (Baer et al, 2008; Maulis et al, 2012). 


Analisis Kritis Artikel Model Pembelajaran CIRC


ANALISIS KRITIS ARTIKEL
oleh: Rizhal Hendi Ristanto


Bibliografi
Zarei, A.A. 2012. The Effects of STAD and CIRC on L2 Reading Comprehension and Vocabulary Learning. Frontiers of Language and Teaching, Vol. 3, 161-173

Tujuan penulisnya:
Mengetahui efektifitas penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan CIRC terhadap prestasi pemahaman bacaan dan belajar kosa kata bahasa inggris pada mahasiswa Iran.

Fakta-fakta Unik
Populasi dan sampel:
Populasi: 132 mahasiswi dari National Institute of English Language (NIEL) Takestan, Iran.
Sampel: 132 mahasiswi , teerdiri atas 3 kelompok pada tingkatan dasar, masing-masing kelompok terdiri dari 24 mahasiswi dan 3 kelompok dengan jumlah anggota masing-masing sebanyak 20.
Prosedur penelitian:
Membentuk kelompok yang bersifat heterogen yaitu dengan melihat hasil pre tes kemudian menentukan 5 siswa yang berprestasi tinggi dan 5 siswa dengan prestasi rendah, sedangkan pada kelompok dasar dipilih 6 siswa dengan prestasi tinggi dan 6 siswa dengan prestasi rendah.

Rumus menentukan anggota kelompok terdiri dari 1 prestasi tinggi dan rendah, serta 2 dengan prestasi rata-rata. Alasannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling belajar
Menentukan kelompok dengan menerapkan model STAD dan CIRC

Kelompok STAD:
Guru menjelaskan materi, kemudian siswa dalam kelompok saling belajar hingga bisa benar-benar memahami materi kemudian siswa diberikan tes secara individu. Hasil post test dan pre test kemudian di uji untuk mengukur hasil belajar mereka. Skor kelompok didapatkan dari hasil penjumlahan skor seluruh anggota, dan kelompok yang memiliki jumlah skor terbaik mendapatkan penghargaan.

Kelompok CIRC:
Siswa dalam kelompok diminta untuk mengikuti 4 fase Cooperative Strategic Reading (CSR)
Siswa diminta untuk merangkum pada tiap-tiap bagian bacaan
Setiap sesi terdiri dari 5 langkah yaitu (1) pengantar pembelajaran (2) pemodelan berpikir (3) bantuan scaffolding, mendapatkan lebih banyak bantuan guru, kurang mendapatkan bantuan guru, tidak ada bantuan guru (4) aplikasi dalam membaca (5) aplikasi secara tertulis.
Pada Setiap sesi, peserta didik dawajibkan membaca dan mendiskusikan hasil. Apabila siswa menemukan istilah baru maka siswa dimnita untuk menemukan makna istilah tersebut.
Pada kedua kelompok STAD maupun  CIRC dituntut untuk berdiskusi, saling membantu, sedangkan guru memberikan bimbingan pada tiap-tiap kelompok.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul:
Pada artikel, salah satu sintaks kooperatif STAD maupun CIRC mengapa tidak menyebutkan presentasi siswa atau diskusi kelas yang selama ini saya ketahui menjadi salah satu kelebihan pembelajaran kooperatif?

Bagaimanakah 4 fase Cooperative Strategic Reading  yang diterapkan pada model CIRC?

Bagaimakah efektifitas CIRC terhadap hasil belajar dan pemahaman  bahasa-bahasa ilmiah pada mata kuliah konsep dasar biologi SD?

Konsep Utama
Penelitian yang diterapkan pada mahasiswi National Institute of English Language dengan membandingkan dua model belajar kooperatif yaitu STAD dan CIRC menunjukkan pembelajaran CIRC lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar berupa pemahaman membaca dan belajar kosa kata atau istilah baru.

Refkeksi
Setelah menganalisis artikel ini, saya menjadi lebih memahami tentang prosedur pada pelaksanaan model CIRC yang nantinya model ini yang saya terapkan pada rencana penelitian disertasi saya, meskipun metode penelitian dalam artikel ini masih kurang menampilkan sintaks diskusi kelas atau presentasi kelas yang berfungsi untuk menyamkan persepsi yang mungkin masih belum tepat pada saat proses pembelajaran baik STAD maupun CIRC. CIRC tepat untuk belajar dengan membaca dan pemahaman pada istilah-istilah baru. Hal tersebut saya kira sesuai juga dengan karakteristik mata kuliah konsep dasar biologi SD yang menuntut mahasiswa untuk paham istilah-istilah atau bahasa-bahasa ilmiah yang selama ini masih menjadi salah satu kendala mahasiswa PGSD Universitas Pakuan yang didominasi dari lulusan SLTA jurusan non-IPA atau tidak ada mata pelajaran biologi.


[NILAI] KONSEP DASAR BUMI DAN ANTARIKSA SD 2013



Berikut adalah adalah nilai mata kuliah Konsep Dasar Bumi dan Antariksa SD, Program Studi PGSD Universitas Pakuan 2013, klik sesuai kelas:

[NILAI] TEKNOLOGI MEDIA PEMBELAJARAN 2013



Berikut adalah adalah nilai mata kuliah Teknologi Media Pembelajaran PGSD Universitas Pakuan tahun 2013, klik sesuai kelas:

[NILAI] KONSEP DASAR BUMI DAN ANTARIKSA 2013





Berikut adalah link untuk menguduh nilai Ujian Tengah Semester mata kuliah Konsep Dasar Bumi dan Antariksa 2013

[GAMES] KONSEP DASAR BUMI & ANTARIKSA 2013



PETUNJUK:

Temukan kata/istilah/tokoh dalam astronomi (tata surya) pada BBM 6, baik secara mendatar (ke kanan) maupun menurun, masing-masing kotak terdapat 20 kata pada kotak 1 dan 22 kata pada kotak 2

Tuliskan kata yang anda temukan pada kolom komentar dengan menggunakan akun facebook anda disertai dengan penjelasan kata yang anda temukan, semakin detail penjelasan anda maka semakin bagus. 

Jawaban dibatasi minimal 100 karakter dan max tidak terbatas.

Satu Mahasiswa diwajibkan menulis jawaban max 1 (satu) pada kolom komentar, periode waktu menjawab mulai Jam 15.00 WIB tanggal 24 April 2013 sampai dengan 14.59 WIB tanggal 25 April 2013.


Contoh: 
Kotak1: JUPITER ~ Planet Jupiter ialah planet terbesar dalam gugusan planet pada tata surya. Merupakan planet terdekat yang kelima dari Matahari. Nama Jupiter sendiri berasal dari sebutan astronomi purba yang merupakan nama raja para Dewa Romawi kuno. Diameter planet Jupiter yang termasuk dalam kelompok planet besar (major planets, diantaranya: Saturnus, Uranus, dan Neptunus) ini, yaitu sepanjang 142.984 kilometer, lebih dari 11 kali lipat panjang diameter planet Bumi, dan sekitar 1/10 panjangnya diameter yang dimiliki oleh bintang Matahari. Layaknya Bumi dan Mars, planet Jupiter pun memiliki Atmosfer yang sebagian besar mengandung hidrogen (H) dan helium (He), selain unsur gas lain yang lebih kecil jumlahnya. Mempunyai 16 satelit alami dengan diameter paling kecil sepanjang 10 kilometer. 4 satelit yang terbesarnya, yaitu Io, Europa, Ganymede, dan Callisto. Keempat bulan ini disebut satelit Galilea, karena ditemukan oleh pakar astronomi dunia asal Italia Galileo Galilei, lewat teleskop refraktor pertama kali ciptaannya, pada tahun 1610.  (NPM: 0371 11 002) #KDBA


 Kotak 1




Kotak 2


MATERI TEKNOLOGI MEDIA PEMBELAJARAN

Materi Teknologi Media Pembelajaran (file .ppt)


KOMPONEN DAN ASPEK-ASPEK DALAM LITERASI SAINS

      Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004). PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
  1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
  2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
  3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu.
  4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
  5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.

      Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan konsep-konsep sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya. PISA memandang pendidikan sains untuk mempersiapkan warganegara masa depan, yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang akan semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi, perlu mengembangkan kemampuan anak untuk memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains dan kemampuan untuk menginterpretasikan dan mematuhi fakta.  Alasan ini  yang menyebabkan PISA tahun 2003  menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam penilaian literasi sains.

1. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
2. Memahami penyelidikan sains
3. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.

PEMBELAJARAN LITERASI SAINS



            Pembelajaran literasi sains merupakan pembelajaran yang didasarkan pada pengembangan kemampuan pengetahuan sains di berbagai sendi kehidupan, mencari solusi permasalahan, membuat keputusan, dan meningkatkan kualitas hidup (Holbrook dan Rannikmae dalam Holbrook, 1998).
            Langkah-langkah pembelajaran literasi sains diadopsi dan diadaptasi dari proyek Chemie im Context atau ChiK (Nentwig et al., 2002) yang disesuaikan dengan kriteria pembelajaran berbasis literasi sains Holbrook (1998) dengan urutan sebagai berikut:

a. Tahap Kontak (Contact Phase)
            Pada tahap awal ini dikemukakan isu-isu atau masalah-masalah yang ada di masyarakat atau menggali berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa yang dapat bersumber dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri. Topik tersebut kemudian dikaitkan dengan materi yang akan dipelajari. Dengan begitu siswa diharapkan menyadari pentingnya memahami materi tersebut.

b. Tahap Kuriositi (Curiosity Phase)
            Pada tahap ini dikemukakan permasalahan berupa pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengundang rasa penasaran dan keingintahuan siswa. Pertanyaan ini berkaitan dengan isu atau masalah yang telah dibicarakan dan untuk mampu menjawabnya, siswa memerlukan pengetahuan dari materi yang akan dipelajari.

c. Tahap Elaborasi (Elaboration Phase)
            Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna, diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses, maupun nilai dan sikap.

d. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Making Phase)
            Pada tahap ini dilakukan pengambilan keputusan bersama dari permasalahan yang dimunculkan pada tahap kuriositi. Dengan begini, penyelesaian dan permasalhan yang muncul tersebut jelas dan benar-benar dapat dipahami oleh siswa tanpa ada keraguan.

e. Tahap Nexus (Nexus Phase)
            Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan intisari (konsep dasar) dan materi yang dipelajari, kemudian mengaplikasikannya pada konteks yang lain (dekontekstualsasi), artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda dimana memerlukan konsep pengetahuan yang sama untuk pemecahannya (Nentwig et al,. 2002). Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna, tidak hanya di dalam konteks pembelajaran tetapi juga di luar konteks pembelajaran.

f. Tahap Penilaian (Assesment Phase)
            Pada tahap ini dilakukan penilaian pembelajaran secara keseluruhan yang berguna untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Penilaian dilakukan bukan hanya untuk menilai aspek pengetahuan atau konten saja, tetapi juga aspek proses, aspek konteks aplikasi, dan aspek sikap sains.

HUBUNGAN LITERASI SAINS DENGAN PISA

PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific literacy). Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun 2000, 2003, dan 2006.

Pada tahun 2000 penelitian PISA difokuskan kepada kemampuan membaca, sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada tahun 2003 aspek matematika menjadi fokus utama kemudian diteruskan aspek sains pada tahun 2006. Studi PISA yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) dan Unesco Institute for Statistics bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan pengetahuan dimasyarakat (knowledge society). Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan anak muda itu untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam kurikulum sekolah.

Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai “ the capacity to use scientific knowledge, to identify questions and to draw evidence-based conclusions in order to understand and help make decisions about the natural world and the changes made to it through human activity”. Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran akan pentingnya sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia  yang reflektif. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan. 

KURIKULUM SAINS



Ruang Lingkup Bahan Ajar

Ruang lingkup bahan ajar dikalsifikasikan menjadi 2 kategori:
  1. Peserta didik kelas 1 – 9 meliputi: 1) makhluk hidup dan kehidupan, 2) bendan dan sifatnya, 3) energi dan perubahannya, 4) bumi dan alam semesta.
  2. Peserta didik kelas 10 – 12 meliputi: cabang sains yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi memiliki ruang lingkup bahan ajar sendiri-sendiri.
Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung, kontekstual dan berpusat pada peserta didik, guru bertindak sebagai fasilitator. Proses pembelajaran yang terlihat dalam SK dan KD kurikulum 2006. Contoh Fisika SD yang berhubungan dengan kerja ilmiah:
  1. Kelas 1 – 3 belum mengenal tentang cara kerja ilmiah. Hanya terbatas pada mengenal, mengidentifikasi, membiasakan, membedakan, menggolongkan, dan mendeskripsikan.
  2. Kelas 4 mulai mengenal cara kerja ilmiah, contoh: gaya dapat merubah bentuk dan gerak suatu benda.
  3. Kelas 5 mulai memahami cara kerja ilmiah, yaitu menyimpulkan hasil penyelidikan tentang perubahan sifat benda, baik sementara maupun tetap, tetapi sebagian besar hanya mengidentifikasi dan mendekripsikan.
  4. Kelas , mulai tampak adanya cara kerja ilmiah, yaitu melakukan penyelidikan hubungan antara gaya dan gerak.
  5. Kelas 7 – 12, mulai paham tampak jelas bahwa kerja ilmiah banyak digunakan dalam pembelajaran sains, selain menganalisis dan pemecahan masalah.
Penilaian atau Asesmen

Ditinjau dar kurikulum sains SD, SMP, dan sains Fisika SMA, asesmen pembelajaran sains SD, SMP, dan SMA menekankan pada penilaian kinerja atau penilaian otontik (authentic assessment) dan pemecehan masalah (problem solving). Kurikulum pendidikan sains yang dikembangkan oleh the National Research Council USA dan diterbitkan oleh National Academy Press, Washington DC.

Standar Isi (Content)
  • Garis besar standar isi sains berupa apa saja yang akan diketahui, dipahami, dan dapat dilakukan dalam sains oleh peserta didik; dari TK sampai kelas 12. Ruang lingkup sains dibagi menjadi delapan kategori: 1. Pemersatu konsep dan proses sains; 2. Sains sebagai inkuiri, 3. Ilmu-ilmu kealaman, 4. Ailmu-ilmu hayati, 5. Ilmu pengetahuan bumi dan antariksa  (IPBA); 6. Sains dan teknologi; 7. Sains dalam perspektif personal dan sosial; dan 8. Sejarah dan hakekat sains.

 Standar Pengajaran Sains
  • Mendeskripsikan apa saja yang harus dipahami dan dikerjakan oleh guru-gur sains diseluruh tingkatan kelas.


  1. Perencanaan program sains berdasar penyelidikan
  2. Tindakan membimbing dan memfasilitasi pembelajaran peserta didik
  3. Membuat asesmen pengajaran dan pembelajaran peserta didik
  4. Pengembangan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk belajar IPA
  5. Menciptakan komunitas pembelajar Sains
  6. Merencanakan dan mengembangkan program sains sekolah
Standar Penilaian (Asesmen)
  1. Menyediakan kriteria untuk menentukan kualitas praktik-praktik penilaian.
  2. Konsistensi penilaian dengan suatu keputusan merupakan desain untuk informasi
  3. Penilaian prestasi dan kesempatan keduanya untuk belajar sains
  4. Mencocokan antara kualitas teknis dari kumpulan data dan konsekuensi tindakan yang diambil dari basis data tersebut
  5. Kejujuran dri praktik penilaian
  6. Ketepatan penarikan kesimpulan yang dibuat dari penialian tentang prestasi peserta didik dan kesempatan untuk belajar.
Dari kuriulum yang dikembangankan oleh the National Research Council USA dapat diperoleh pokok-pokok pikiran untuk pengembangan kurikulum sains kedepan:
  1. Penggolongan standar isi untuk seluruh tingkatan kelas yang sama. Perbedaannya terletak pada kesesuaian antara dimensi pengetahuan (knowledge) dan dimensi proses kognitif (pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif).
  2. Pada pengajaran sains, guru hendaknya a) mengajar IPA berbasis inkuri, b) sebagai pembimbing dan fasilitator, c) menciptakan pembelajaran yang berpusat kepada siswa, d) merancang lingkungan sedemikian rupa untuk sumber pembelajaran kontekstual, e) menciptakan kelompok belajar sains.
  3. Penilaian belajar hendaaknya menekankan pada aspek-aspek yang penting, bukan yang mudah untuk diniliai.
  4. Penilaian hasil belajar jangka panjang berupa kemampuan (ability) yang dicapai melalui interaksi antara pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills), dengan penilaian otentik berdasarkan data dan jujur.
Materi .ppt download disini



 

Komentar

Tag

Bahan Ajar (42) Biologi (33) Fisika (20) Guru (30) IPA (44) Kesehatan (11) Kimia (25) Kuliah (26) Media (3) PLH (1) Pembelajaran (56) Pendidikan (58) Penelitian (13)

Follower

Histats

Most Wanted